Senin, 31 Oktober 2016

Tak Cukup Menjadi Pria Jika Ingin Wanita Seutuhnya

Posted by Nur Chasanah Isnaini at 04.42
Pakaian rapi yang sudah dipersiapkan ibu untuk hari ini akhirnya aku pakai juga. Setelah sebelumnya perang habis-habisan bersama ibu. Bayangkan saja pintu diketuk, mungkin sampai ratusan kali, kupingku sampai memerah mendengar ketukannya. Sungguh itu perjuangan yang amat sangat.
Dan sekarang celana jeans dipadu dengan kemeja maron pilihan ibu sangat membuatku menawan didepan cermin. Hal yang tidak biasa aku lakukan yaitu rambut disisir rapi, namun kali ini boleh juga. Aku tinggalkan rambut acak-acakan, kaus tipis ,dan celana jeans robek untuk hari ini.
Aku semprot parfum aroma Frutty dari Green Apple yang bercampur aroma Sandalwood, Tonka Bean di badan dan setelan baju yang aku pakai. Inilah satu-satunya dariku yang tak pernah diubah. Kata ibu, baunya membuat wanita diseantero kompleks rumah mendekat. Jelas ini bukan faktanya, tapi sebagian ada benarnya juga. Karena secara tidak langsung banyak wanita mendekatiku. Entah karena tampang atau wangi tubuhku. Aku tak peduli.
Banyak orang berkata aku ini mirip Mario Maurer, seorang aktor terkenal bahkan seantero Asia dan bahkan mungkin dunia. Memang ku akui dia punya bakat yang menakjubkan. Mungkin aku akan menyainginya atau bahkan lebih dari dia. Ku harap seperti itu nantinya.
“Kao...! Cepat turun ibu sudah buatkan sarapan.” Teriakan ibu dari lantai bawah membuat kupingku berdenyut lagi. Sungguh tidak sabaran. Aku tidak menyangka bahwa ibu mempunyai suara yang menggelegar seperti terompet tahun baru yang bisa bersaut-sautan.
“Kao...! Cepatlah, nanti kita terlambat. Kalau kita terlambat ibu akan salahkan kamu akan hal ini. ibu sudah membangunkanmu dari tadi. Ini waktunya kamu tidak boleh melewatkannya lagi. Ayo Kao keluar cepat. Ibu tunggu dibawah. Semua sudah siap. Hanya menunggu kamu.” Ibu sudah berada tepat dibelakang pintu kamarku. Kalimat panjang ibu terus keluar sampai ia menginjak lantai bawah. Kali ini aku tidak bisa menghindar.

                                                            ***

Namo Tassa Bagavato Arahato Samma Sambudhassa
Untung saja aku bersama rombongan keluarga jadi tidaklah mencolok aku disini, tidak akan ada yang mengetahui kalau aku disini. Memang sepertinya acara sudah dimulai dan tidak terlalu ramai. Untung ini wat yang ada didaerah dekat rumah sehingga tidak terlalu banyak orang, namun sangat sakral. Wat adalah candi, wihara, atau kuil untuk tempat sembhayang. Aku ingat dulu sewaktu kecil aku sering diajak ayah berkunjung ke wat ini untuk sekedar bercengkrama dengan penjaga atau kegiatan bakti sosial. Ah itu sudah sangat lama, mungkin terlalu lama aku meninggalkan-Nya.
Aku berjalan menunduk, menyusuri jalan setapak secara perlahan dan mulai mengosongkan pikiran. Saat aku sadar, diriku jauh tertinggal, aku sendirian. Disini sepi sekali, apakah sudah dimulai acaranya? Gawat kalau misal ada orang yang mengenaliku. Aku harus segera cepat bergegas melangkahkan kaki menuju tempat yang dituju keluargaku.
Namo Tassa Bagavato Arahato Samma Sambudhassa
Kenapa ini aku berlari namun sepertinya berjalan kapan ujung dari jalan setapak ini. Dimana keluargaku, tega sekali meninggalkanku sendirian. Tidakkah mereka mengkhawatirkan aku?
Sesaat kemudian aku melihat tangga menuju ruang utama, aku naik perlahan, masih belum terlihat orang-orang. Kakiku terus melangkah maju berjalan pelan. Dengan pasti aku semakin dalam menyusuri tiap ruangan. Aku amnesia sejenak.
“Apa yang kamu lakukan diluar sini? Masuklah.” Suara lembut menyadarkanku dari amnesia ini.
“Tidak apakah?” Tanyaku sembari melihat siapa yang mempunyai suara lembut itu. Wajahnya bersinar. Senyum menghiasi setiap kali dia berucap. Yang sudak tidak aku perdulikan apa isinya. Hanya dengan memandangnya aku lupa, apa tujuanku.
“Ayolah masuk sudah dimulai acaranya, walaupun kamu terlambat ketika dupa dinyalakan, namun bersujudlah.”
Aku mengikutinya, bersujud disampingnya, melirik dia. Hal ini memang sangat kekanak-kanakan. Seperti melihat mainan baru yang sangat istimewa, aku ingin membawanya. Dari samping terlihat lentik bulu matanya, aku yakin dibalik rambut yang diikat panjangnya akan terlihat ketika terurai hitam legam. Mulutnya bergerak, mungkin melantunkan doa untuk Sang Budha. Aku ini memang durhaka.
Namo Tassa Bagavato Arahato Samma Sambudhassa
Aku lega acara ini telah selesai, namun aku juga kecewa karena dengan ini aku akan berpisah dengan wanita yang berada disebelahku. Aku tersenyum, dia pun membalasnya lalu pergi. Setelah ini, aku tidak akan pernah melupakan senyumnya sedetikpun.

                                                            ***

Panggil aku Kao yang dalam bahasa Thailand berarti angka sembilan/9 (angka keberuntungan menurut sebagian besar orang Thailand). Aku seorang pablik figur yang tidak begitu terkenal, namun tetap saja ada penggemar. Kali ini aku sedang syuting dipusat keramaian di Thailand yaitu Kawasan Khaosan Road. Tempat ini selalu dipadati wisatawan dari berbagai negara. Jalan satu arah ini dipenuhi pedagang kaki lima yang membuat wisatawan betah berlama-lama. Entah apa yang dipikirkan sang sutradara sampai memilih lokasi seperti ini.
“CUT!” Kata sang sutradara secara lantang. “Hari ini kalian boleh bergegas pulang. Tapi ingat besok masih ada beberapa adegan yang harus diselesaikan.”
Aku yang hanya pemeran pembantu disini tidak begitu sulit untuk memainkan peran. Hanya saja lelah setelah seharian dan lelah karena dikerubuti penggemar. Padahal apa yang menarik dariku? Tidak ada.
“Kao, bagaimana syutingnya?”
“Sangat lelah, namun aku senang akhirnya besok adegan terakhir.”
“Ah benar, mungkin kamu mau sejenak minum kopi bersama dicafe sebrang? Banyak orang  merekomendasikannya.” Dengan senyum yang merekah Rinrada mulai merayuku. Dengan sikap yang wajar seperi layaknya kebanyakan perempuan, munkin tidak banyak orang yang tahu bahwa dia adalah transgender. Banyak orang berpendapat wajahnya bagai boneka hidup. Cantik dan mempesona setiap pria.
“Maaf aku harus segera pulang, keluargaku membatasi jam mainku hari ini karena aku membuat kesalahan minggu kemarin.”
“Benarkah? Sayang sekali. Mungkin lain kali kita bisa.” Kecewanya tidak dapat disembunyikan.
Temannya memberitahuku bahwa Rinrada sudah lama menyukaiku. Yang benar saja. Walaupun dia sudah berubah seutuhnya sekalipun, aku tetap tidak mau dengannya. Aku normal dan aku masih sadar bahwa dia laki-laki. Tidak mungkin aku memacarinya.

                                                            ***

Perjalanan sampai rumah membutuhkan waktu 30 menit dari Kawasan Khaosan Road. Mengitari gang kecil barulah aku dapat menuju jalan utama menuju rumah. Dalam perjalanan pulang dengan mengendarai motor sport hitamku, aku melihat pemandangan yang tidak mengenakan disudut gang kecil yang sepi akan kerumunan orang.
“Hei kau mau apa dengan wanita tak berdaya itu!” Kataku dengan suara lantang menantang.
“Kau siapa? Kita tidak ada urusan, sudah sana pergi saja.” Kata pria bertubuh kekar yang sedang mengintimidasi wanita tersebut.
“Aku tidak suka kalau seorang wanita dilecehkan seperti itu. Mungkin ini negara yang bebas dengan melegalkan prostitusi ataupun perubahan gender. Namun ini tetap tidak baik jika aku meninggalkan wanita lemah itu sendirian.”
“Kau bicara apa sebenarnya. Kau ini mengganggu saja. Kalau berani sini lawan.”
Pria itu bersiap-siap akan menyerang, namun dengan sekejap aku menghindar. Mungkin banyak yang mengetahui aku adalah pria berumur 22 Tahun yang gemar berakting didepan kamera. Tidak ada yang tahu bahwa aku baru-baru ini mempelajari seni bela diri Muay Thai. Walaupun baru sebentar mempelajarinya Muay Thai, merupakan seni bela diri dengan tangan kosong yang menjadikan tubuh sebagai senjatanya. Ini sangat jitu untuk melumpuhkan lawan. Lihat saja beberapa menit bertarung namun sudah menyerah dan kabur. Pantas saja pasukan gajah putih kerajaann Thailand yang terkenal kuat menggunakan seni bela diri ini.
Tidak lupa aku melihat kondisi wanita yang dilecehkannya tersebut. Dia adalah wanita yang aku temui di wat minggu lalu. Dia hanya diam dan memberikan alamat. Aku tidak melihat sinar diwajahnya seperti saat pertama kali bertemu. Mungkin kondisinya waktu itu berbeda. Lalu ku antarlah pulang. Dalam perjalanan aku hanya tau dia berpegang erat pada bajuku dan diam merenung tanpa berkata-kata. Aku baru sadar, alamat yang dia tunjukan dekat dengan kompleks rumahku. Ini ajaib sekali. mungkin lain kali aku akan datang.
“Terima kasih Kao” Akhirnya suara lembut itu keluar dari bibir manisnya walau tanpa senyuman.
“Tidak masalah asal kamu selamat aku sudah bersyukur.” Tapi bagaimana bisa dia mengetahui namaku sementara aku tidak tahu siapa wanita cantik didepanku ini.
“Kao sudah lama ya kita tidak berjumpa.” Kata-katanya mengisyaratkan kita pernah bertemu sebelummya. “Kamu masih sama seperti dulu, pemberani, kuat dan menolong yang lemah.”
“Tentu. Akukan seorang pria.”
“Ya. Dan aku juga masih sama Kao. Lemah dan butuh bantuanmu. Tidakkah kamu ingat?”
Aku berpikir keras dengan ucapan yang dilontarkannya itu. Apa yang kulupa darinya, yang bahkan setiap detik senyumnya menghantuiku. Jika saja aku dapat bicara sekarang, akan aku katakan bahwa aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan dirinya yang namanya ku tak tahu.
“Aku Petcharat. Apa kau ingat? Bocah laki-laki yang menjadi sahabatmu waktu kecil. Yang sering menemanimu berkeliling wat dekat kompleks rumah kita. Bocah itu adalah aku.”

Pernyataan Pet menyadarkanku dari segala kebingungan yang melanda. Bagaimana bisa wanita cantik, berhati lembut bak bidadari ini adalah seorang bocah laki-laki dahulunya. Ini tidak mungkin. Atau benar saja jika selama ini aku telah amnesia dan menghilangkan sebagian memoriku tentang dia. Namun potongan memori itu kini terkumpul menjadi satu seperti sebuah rangkaian film 3D. Aku patah hati. Dengan seorang laki-laki. Bahkan yang mana sahabatku sendiri. Bencana macam apa yang terjadi padaku saat ini.

Aku seorang pria tangguh tidak bisa mendapat wanita sutuhnya. 

0 comments:

Posting Komentar

 

Naungan Hati Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea