Pakaian
rapi yang sudah dipersiapkan ibu untuk hari ini akhirnya aku pakai juga.
Setelah sebelumnya perang habis-habisan bersama ibu. Bayangkan saja pintu
diketuk, mungkin sampai ratusan kali, kupingku sampai memerah mendengar
ketukannya. Sungguh itu perjuangan yang amat sangat.
Dan sekarang celana jeans
dipadu dengan kemeja maron pilihan ibu sangat membuatku menawan didepan cermin.
Hal yang tidak biasa aku lakukan yaitu rambut disisir rapi, namun kali ini
boleh juga. Aku tinggalkan rambut acak-acakan, kaus tipis ,dan celana jeans
robek untuk hari ini.
Aku
semprot parfum aroma Frutty dari Green Apple yang bercampur aroma Sandalwood, Tonka Bean di badan dan
setelan baju yang aku pakai. Inilah satu-satunya dariku yang tak pernah diubah.
Kata ibu, baunya membuat wanita diseantero kompleks rumah mendekat. Jelas ini
bukan faktanya, tapi sebagian ada benarnya juga. Karena secara tidak langsung
banyak wanita mendekatiku. Entah karena tampang atau wangi tubuhku. Aku tak
peduli.
Banyak
orang berkata aku ini mirip Mario Maurer, seorang aktor terkenal bahkan
seantero Asia dan bahkan mungkin dunia. Memang ku akui dia punya bakat yang
menakjubkan. Mungkin aku akan menyainginya atau bahkan lebih dari dia. Ku harap
seperti itu nantinya.
“Kao...!
Cepat turun ibu sudah buatkan sarapan.” Teriakan ibu dari lantai bawah membuat
kupingku berdenyut lagi. Sungguh tidak sabaran. Aku tidak menyangka bahwa ibu
mempunyai suara yang menggelegar seperti terompet tahun baru yang bisa
bersaut-sautan.
“Kao...!
Cepatlah, nanti kita terlambat. Kalau kita terlambat ibu akan salahkan kamu
akan hal ini. ibu sudah membangunkanmu dari tadi. Ini waktunya kamu tidak boleh
melewatkannya lagi. Ayo Kao keluar cepat. Ibu tunggu dibawah. Semua sudah siap.
Hanya menunggu kamu.” Ibu sudah berada tepat dibelakang pintu kamarku. Kalimat
panjang ibu terus keluar sampai ia menginjak lantai bawah. Kali ini aku tidak
bisa menghindar.
***
“Namo Tassa Bagavato Arahato Samma
Sambudhassa”
Untung
saja aku bersama rombongan keluarga jadi tidaklah mencolok aku disini, tidak
akan ada yang mengetahui kalau aku disini. Memang sepertinya acara sudah
dimulai dan tidak terlalu ramai. Untung ini wat
yang ada didaerah dekat rumah sehingga tidak terlalu banyak orang, namun sangat
sakral. Wat adalah candi, wihara,
atau kuil untuk tempat sembhayang. Aku ingat dulu sewaktu kecil aku sering
diajak ayah berkunjung ke wat ini
untuk sekedar bercengkrama dengan penjaga atau kegiatan bakti sosial. Ah itu
sudah sangat lama, mungkin terlalu lama aku meninggalkan-Nya.
Aku
berjalan menunduk, menyusuri jalan setapak secara perlahan dan mulai
mengosongkan pikiran. Saat aku sadar, diriku jauh tertinggal, aku sendirian.
Disini sepi sekali, apakah sudah dimulai acaranya? Gawat kalau misal ada orang
yang mengenaliku. Aku harus segera cepat bergegas melangkahkan kaki menuju
tempat yang dituju keluargaku.
“Namo Tassa Bagavato Arahato Samma
Sambudhassa”
Kenapa
ini aku berlari namun sepertinya berjalan kapan ujung dari jalan setapak ini.
Dimana keluargaku, tega sekali meninggalkanku sendirian. Tidakkah mereka
mengkhawatirkan aku?
Sesaat
kemudian aku melihat tangga menuju ruang utama, aku naik perlahan, masih belum
terlihat orang-orang. Kakiku terus melangkah maju berjalan pelan. Dengan pasti
aku semakin dalam menyusuri tiap ruangan. Aku amnesia sejenak.
“Apa
yang kamu lakukan diluar sini? Masuklah.” Suara lembut menyadarkanku dari
amnesia ini.
“Tidak
apakah?” Tanyaku sembari melihat siapa yang mempunyai suara lembut itu.
Wajahnya bersinar. Senyum menghiasi setiap kali dia berucap. Yang sudak tidak
aku perdulikan apa isinya. Hanya dengan memandangnya aku lupa, apa tujuanku.
“Ayolah
masuk sudah dimulai acaranya, walaupun kamu terlambat ketika dupa dinyalakan,
namun bersujudlah.”
Aku
mengikutinya, bersujud disampingnya, melirik dia. Hal ini memang sangat
kekanak-kanakan. Seperti melihat mainan baru yang sangat istimewa, aku ingin
membawanya. Dari samping terlihat lentik bulu matanya, aku yakin dibalik rambut
yang diikat panjangnya akan terlihat ketika terurai hitam legam. Mulutnya
bergerak, mungkin melantunkan doa untuk Sang Budha. Aku ini memang durhaka.
“Namo Tassa Bagavato Arahato Samma
Sambudhassa”
Aku
lega acara ini telah selesai, namun aku juga kecewa karena dengan ini aku akan
berpisah dengan wanita yang berada disebelahku. Aku tersenyum, dia pun
membalasnya lalu pergi. Setelah ini, aku tidak akan pernah melupakan senyumnya
sedetikpun.
***
Panggil
aku Kao yang dalam bahasa Thailand berarti angka sembilan/9 (angka
keberuntungan menurut sebagian besar orang Thailand). Aku seorang pablik figur
yang tidak begitu terkenal, namun tetap saja ada penggemar. Kali ini aku sedang
syuting dipusat keramaian di Thailand yaitu Kawasan Khaosan Road. Tempat ini
selalu dipadati wisatawan dari berbagai negara. Jalan satu arah ini dipenuhi
pedagang kaki lima yang membuat wisatawan betah berlama-lama. Entah apa yang
dipikirkan sang sutradara sampai memilih lokasi seperti ini.
“CUT!”
Kata sang sutradara secara lantang. “Hari ini kalian boleh bergegas pulang.
Tapi ingat besok masih ada beberapa adegan yang harus diselesaikan.”
Aku
yang hanya pemeran pembantu disini tidak begitu sulit untuk memainkan peran.
Hanya saja lelah setelah seharian dan lelah karena dikerubuti penggemar.
Padahal apa yang menarik dariku? Tidak ada.
“Kao,
bagaimana syutingnya?”
“Sangat
lelah, namun aku senang akhirnya besok adegan terakhir.”
“Ah
benar, mungkin kamu mau sejenak minum kopi bersama dicafe sebrang? Banyak
orang merekomendasikannya.” Dengan
senyum yang merekah Rinrada mulai merayuku. Dengan sikap yang wajar seperi
layaknya kebanyakan perempuan, munkin tidak banyak orang yang tahu bahwa dia
adalah transgender. Banyak orang berpendapat wajahnya bagai boneka hidup.
Cantik dan mempesona setiap pria.
“Maaf
aku harus segera pulang, keluargaku membatasi jam mainku hari ini karena aku
membuat kesalahan minggu kemarin.”
“Benarkah?
Sayang sekali. Mungkin lain kali kita bisa.” Kecewanya tidak dapat disembunyikan.
Temannya
memberitahuku bahwa Rinrada sudah lama menyukaiku. Yang benar saja. Walaupun
dia sudah berubah seutuhnya sekalipun, aku tetap tidak mau dengannya. Aku
normal dan aku masih sadar bahwa dia laki-laki. Tidak mungkin aku memacarinya.
***
Perjalanan
sampai rumah membutuhkan waktu 30 menit dari Kawasan Khaosan Road. Mengitari
gang kecil barulah aku dapat menuju jalan utama menuju rumah. Dalam perjalanan
pulang dengan mengendarai motor sport hitamku, aku melihat pemandangan yang
tidak mengenakan disudut gang kecil yang sepi akan kerumunan orang.
“Hei
kau mau apa dengan wanita tak berdaya itu!” Kataku dengan suara lantang
menantang.
“Kau
siapa? Kita tidak ada urusan, sudah sana pergi saja.” Kata pria bertubuh kekar
yang sedang mengintimidasi wanita tersebut.
“Aku
tidak suka kalau seorang wanita dilecehkan seperti itu. Mungkin ini negara yang
bebas dengan melegalkan prostitusi ataupun perubahan gender. Namun ini tetap
tidak baik jika aku meninggalkan wanita lemah itu sendirian.”
“Kau
bicara apa sebenarnya. Kau ini mengganggu saja. Kalau berani sini lawan.”
Pria
itu bersiap-siap akan menyerang, namun dengan sekejap aku menghindar. Mungkin
banyak yang mengetahui aku adalah pria berumur 22 Tahun yang gemar berakting
didepan kamera. Tidak ada yang tahu bahwa aku baru-baru ini mempelajari seni
bela diri Muay Thai. Walaupun baru
sebentar mempelajarinya Muay Thai,
merupakan seni bela diri dengan tangan kosong yang menjadikan tubuh sebagai
senjatanya. Ini sangat jitu untuk melumpuhkan lawan. Lihat saja beberapa menit
bertarung namun sudah menyerah dan kabur. Pantas saja pasukan gajah putih
kerajaann Thailand yang terkenal kuat menggunakan seni bela diri ini.
Tidak
lupa aku melihat kondisi wanita yang dilecehkannya tersebut. Dia adalah wanita
yang aku temui di wat minggu lalu.
Dia hanya diam dan memberikan alamat. Aku tidak melihat sinar diwajahnya
seperti saat pertama kali bertemu. Mungkin kondisinya waktu itu berbeda. Lalu
ku antarlah pulang. Dalam perjalanan aku hanya tau dia berpegang erat pada bajuku
dan diam merenung tanpa berkata-kata. Aku baru sadar, alamat yang dia tunjukan
dekat dengan kompleks rumahku. Ini ajaib sekali. mungkin lain kali aku akan
datang.
“Terima
kasih Kao” Akhirnya suara lembut itu keluar dari bibir manisnya walau tanpa
senyuman.
“Tidak
masalah asal kamu selamat aku sudah bersyukur.” Tapi bagaimana bisa dia
mengetahui namaku sementara aku tidak tahu siapa wanita cantik didepanku ini.
“Kao
sudah lama ya kita tidak berjumpa.” Kata-katanya mengisyaratkan kita pernah
bertemu sebelummya. “Kamu masih sama seperti dulu, pemberani, kuat dan menolong
yang lemah.”
“Tentu.
Akukan seorang pria.”
“Ya.
Dan aku juga masih sama Kao. Lemah dan butuh bantuanmu. Tidakkah kamu ingat?”
Aku
berpikir keras dengan ucapan yang dilontarkannya itu. Apa yang kulupa darinya,
yang bahkan setiap detik senyumnya menghantuiku. Jika saja aku dapat bicara
sekarang, akan aku katakan bahwa aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan
dirinya yang namanya ku tak tahu.
“Aku
Petcharat. Apa kau ingat? Bocah laki-laki yang menjadi sahabatmu waktu kecil.
Yang sering menemanimu berkeliling wat
dekat kompleks rumah kita. Bocah itu adalah aku.”
Pernyataan
Pet menyadarkanku dari segala kebingungan yang melanda. Bagaimana bisa wanita
cantik, berhati lembut bak bidadari ini adalah seorang bocah laki-laki
dahulunya. Ini tidak mungkin. Atau benar saja jika selama ini aku telah amnesia
dan menghilangkan sebagian memoriku tentang dia. Namun potongan memori itu kini
terkumpul menjadi satu seperti sebuah rangkaian film 3D. Aku patah hati. Dengan
seorang laki-laki. Bahkan yang mana sahabatku sendiri. Bencana macam apa yang
terjadi padaku saat ini.
0 comments:
Posting Komentar